Toko Buku Gunung Agung, yang telah menjadi ikon toko buku modern di Indonesia sejak tahun 1953, sedang menjadi sorotan publik. Kabar mengejutkan datang dari PT GA Tiga Belas sebagai pengelola telah melaporkan bahwa mereka sudah melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap 350 karyawan. Selain itu, pihak manajemen juga berencana untuk melakukan efisiensi dengan menutup toko-toko yang tersisa di tahun 2023 ini. 

Berdirinya Gunung Agung memiliki kisah yang menarik dan panjang. Toko buku ini adalah perintis dari toko buku modern di Indonesia yang sekarang sering dikunjungi oleh masyarakat. Berdirinya toko buku ini tidak terlepas dari peran Tjio Wie Tay seorang pria yang lahir di Batavia pada tanggal 8 September 1927.

Peristiwa pemutusan hubungan kerja dan rencana penutupan toko-toko Gunung Agung menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh industri perbukuan saat ini. Keputusan ini mencerminkan upaya perusahaan untuk menghadapi situasi keuangan yang sulit, yang mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perubahan perilaku belanja masyarakat dan dampak pandemi Covid-19.

Toko Buku Gunung Agung, dengan sejarah dan reputasinya yang kuat, meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam dunia perbukuan di Indonesia.

Implikasi : Era Digital Buat Toko Buku Temui Ajal?

TU Research Analyst menilai setelah peristiwa tutupnya salah satu toko buku terbesar di Indonesia, Gunung Agung, kami melihat langkah tersebut haruslah diambil seiring kerugian yang terus dituai perusahaan serta penjualan buku setiap bulannya yang juga mengalami penurunan.

Kami sendiri menilai salah satu penyebab tumbangnya toko buku yang menjual buku-buku fisik di Indonesia menandakan salah satu dampak digitalisasi merupakan keniscayaan. Di mana kami lihat digitalisasi mendorong pergantian perilaku masyarakat dalam mencari ilmu serta informasi. Di samping itu, digitalisasi juga menawarkan layanan yang lebih mudah dan murah bagi para penggunanya dibandingkan dengan offline bookstore.

Kondisi ini semakin diperparah dengan minat baca masyarakat Indonesia yang tidak cukup baik. Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

What To Do: Pesaing Harus Siap-siap

Setelah melihat bangkrutan salah satu toko buku terbesar di Indonesia itu, kami melihat bisa saja terjadi lantaran minat baca di yang rendah ditambah digitalisasi industri yang semakin kuat.

Tak hanya di Indonesia fenomena minat baca yang turun juga terjadi di Jepang yang merupakan salah satu yang memiliki budaya baca buku yang tinggi.

Prospek secara industri yang sudah berganti serta minat baca yang tidak baik khususnya di Indonesia akan semakin membuat para penguasa di industri ini kesulitan dalam menjalankan bisnisnya. Kami sendiri menilai pada akhirnya jika fenomena ini terus terjadi akan membuat banyak pengusaha toko buku yang akan mengikuti jejak kebangkrutan toko Gunung Agung.

Ujung-ujungnya salah satu inovasi yang bisa dilakukan para pengusaha toko buku  yakni melalui program delivery service by store yang sudah banyak diadaptasi di negara maju misalnya saja Jerman. Indonesia sendiri, kami melihat, program ini sudah diterapkan oleh salah satu pesaing Gunung Agung yakni Gramedia dalam mengantisipasi fenomena tersebut.

Cari tahu insight lebih lengkap tentang bisnis dan lainnya di aplikasi Ternak Uang sekarang juga!

Belum jadi member? Pakai kode promo TUBLOG buat dapetin Diskon Khusus 15% untuk Membership TU Premium!

Writer: Danielle Nadine
Research Analyst: Miftahul Khaer
Editor: Fiqih Zulkarnain