Ahli ekonomi senior Faisal Basri mengungkapkan bahwa jumlah tenaga kerja asing (TKA) dalam proyek smelter nikel di Indonesia telah meningkat secara signifikan. Ia mengatakan gaji TKA tersebut bisa mencapai Rp54 juta, berbeda jauh dengan gaji pekerja lokal Indonesia.
“Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17-54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum,” ungkapnya seperti dikutip detikcom, Selasa (15/08).
Faisal mencatat bahwa banyak dari TKA ini bukanlah ahli di bidang smelter. Beberapa di antara mereka bahkan hanya memiliki pekerjaan seperti juru masak, satpam, tenaga statistik, atau sopir. Mayoritas TKA ini berasal dari China.
Faisal juga menyoroti bahwa TKA ini umumnya menggunakan visa kunjungan, bukan visa kerja. Hal tersebut memungkinkan mereka tidak membayar pajak penghasilan. Hal ini menyebabkan negara mengalami kerugian dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar US$100 atau setara Rp1,5 juta per pekerja per bulan.
Baca Berita Lainnya: LG Garap Megaproyek Baterai Kendaraan Listrik Rp142 T di Indonesia
Lebih lanjut, Faisal Basri menjelaskan kontribusi ekonomi dari smelter-smelter ini terhadap perekonomian nasional sekitar 10% saja. Hal Ini dikarenakan sebagian besar smelter nikel dimiliki oleh pengusaha China yang mendapatkan fasilitas pembebasan pajak (tax holiday) dan hampir tidak ada keuntungan yang mengalir ke Indonesia.
Selain itu, mayoritas modal untuk proyek-proyek ini berasal dari bank-bank China sehingga pendapatan dari bunga juga cenderung mengalir kembali ke China. Nilai tambah yang diperoleh oleh perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga yang sangat murah.
Faisal Basri mencatat bahwa harga bijih nikel yang ditetapkan oleh perusahaan smelter China jauh lebih rendah dari harga internasional.
JFA/EFR
Referensi: detikcom