Pemerintah Indonesia dan China telah sepakat untuk menambah biaya proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sebesar US$1,2 miliar atau sekitar Rp18 triliun. Dengan penambahan ini, anggaran pembangunan KCJB yang semula direncanakan sekitar Rp113 triliun naik menjadi Rp131 triliun. Namun, mekanisme pembagian atau porsi pembayaran biaya untuk menutupi peningkatan anggaran tersebut belum ditentukan.
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menyatakan cost overrun sebesar US$1,2 miliar telah disepakati, namun beberapa hal terkait pajak dan frekuensi masih perlu dikaji oleh pihak China, seperti dikutip CNN Indonesia. Pembahasan mengenai hal ini akan dilanjutkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Harapannya, dalam satu hingga dua minggu ke depan, pembagian tanggung jawab antara Indonesia dan China akan segera final.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah ingin biaya tambahan proyek KCJB ditanggung bersama oleh Indonesia dan China sesuai dengan porsi kepemilikan saham. Dengan demikian, peningkatan biaya juga harus ditanggung secara proporsional yaitu 60% oleh Indonesia dan 40% oleh China.
Meski demikian, Indonesia tetap menghadapi tantangan. Sejak awal, rencana pembangunan KCJB sudah tidak sesuai dengan janji pemerintah. Awalnya, proyek ini seharusnya tidak menggunakan anggaran dari APBN, tetapi akhirnya pemerintah harus memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp4 triliun.
Sayangnya, keterlibatan APBN dalam pembangunan KCJB tidak berhenti di situ. Indonesia harus menghadapi beban biaya tambahan karena China enggan menanggung biaya proyek tersebut.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyatakan bahwa APBN berpotensi menanggung risiko kontingensi dalam pembangunan kereta cepat ini. Dalam situasi ini, pemerintah diharapkan dapat menetapkan skema pembagian tanggungan biaya dengan hati-hati agar tidak memberatkan keuangan negara secara berlebihan.
Implikasi: Akankah APBN Terbebani?
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) masih menjadi sumber polemik. China sendir kami lihat masih dikabarkan meminta APBN Indonesia sebagai penjamin pinjaman utang proyek tersebut. TU Research Analyst melihat hal tersebut lumayan mengejutkan dimana kesepakatan sebelumnya telah menyatakan bahwa pembangunan kereta cepat tidak akan menggunakan dana APBN.
China sendiri sampai saat ini masih menginginkan pembayaran pinjaman pokok maupun bunga dari pembangunan KCJB dapat dijamin oleh pemerintah Indonesia melalui APBN.
Jika prosedur pembiayaan tersebut disepakati kami lihat prosedurnya akan memakan tahapan yang cukup panjang mulai dari restrukturisasi APBN itu sendiri. Selain itu, kami juga mengkhawatirkan akan terjadi dampak buruk seperti defisit terhadap APBN apabila skema tersebut disepakati.
Baca selengkapnya: Orang Jakarta Kantongi Hampir 300 Juta Setahun
What To Do: Pemerintah Perlu Perhitungan Matang
TU Research Analyst mengimbau kepada pemerintah agar lebih tegas terhadap China. Bukan tanpa alasan, himbauan tersebut bermaksud agar anggaran yang saat ini statusnya masih stabil tidak terguncang oleh isu tersebut. Serta, para pihak yang terlibat dalam pembangunan ini harus berpikir panjang. Jangan sampai APBN, yang saat ini dalam kondisi stabil, terguncang oleh isu-isu yang tidak menguntungkan.
Kamipun berhadap di tengah keterbatasan keuangan negara, pemerintah mampu mengalokasikan semua sumber daya seadil dan seefisien mungkin serta lebih transparan jika menyangkut dengan proyek-proyek besar seperti ini lagi. Transparansi yang dimaksud dapat berupa audit proyek karena berpotensi serta berdampak pada pengeluaran dan belanja negara.
WDN/RMK/EFR
Dikutip dari berbagai sumber