PT Nusantara Sejahtera Raya, yang lebih dikenal sebagai Cinema XXI, bakal melantai di bursa saham dalam waktu dekat. Emiten hiburan ini bakal melantai lewat jalur Initial Public Offering (IPO) dengan target dana mencapai Rp2,4 triliun. Masa penawaran bakal berlaku mulai hari ini, Senin (10/07), hingga akhir pekan nanti.
Cinema XXI akan melepas 8,3 miliar lembar saham ke publik yang dikeluarkan dari saham yang belum diterbitkan (portepel). Nantinya, harga saham Cinema XXI diperkirakan akan ditawarkan mulai dari Rp270-Rp288 per lembar.
Direktur Utama PT Nusantara Sejahtera Raya Hans Gunadi mengatakan industri bioskop di Tanah Air mengalami kenaikan pesat pasca pandemi. Untuk itu, ia berharap langkah melantai di bursa saham bisa melanjutkan tren positif pertumbuhan perusahaannya.
Sebagai informasi, Cinema XXI didirikan pada 1987. Hingga kini, perseroan mampu mengembangkan bisnisnya hingga memiliki 230 bioskop dengan 1.235 layar di penjuru Tanah Air. Emiten ini berambisi untuk memiliki lebih dari 2.000 layar pada 2025 dalam lima tahun ke depan.
Dana yang didapat, nantinya sebagian besar akan digunakan untuk belanja modal dalam mengembangkan jejaring bioskop, modal kerja, dan pembayaran kewajiban jangka pendek.
Hans meyakini saham perusahaannya bakal laku di pasaran, mengingat setengah layar bioskop di Indonesia adalah milik Cinema XXI. Di lain sisi, ia mengklaim bahwa pangsa pasar penonton bioskop juga sebagian besar dikuasai Cinema XXI atau tepatnya 69%.
Pesaing Cinema XXI
Kalian pasti tahu, kalau di Indonesia ada banyak jenama bioskop selain Cinema XXI. Beberapa yang terkenal antara lain CGV, Cinepolis, dan Flix. Peta persaingan di antara brand ternama tersebut cukup terlihat, di mana CGV, yang dulunya bernama Blitzmegaplex, memiliki 71 bioskop dengan 408 layar. Sementara Cinepolis memiliki 60 bioskop dengan 289 layar dan Flix baru memiliki 4 bioskop di Jakarta.
Dengan begitu, tidaklah berlebihan apabila Cinema XXI mengklaim sebagai yang terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar lebih dari setengahnya dikuasai brand asal Tanah Air itu.
Baca Berita Lainnya: China Guyur Diskon Pajak Mobil Listrik
Implikasi: Performa dan Valuasi Cinema XXI (CNMA)
Sebelumnya, sudah ada emiten yang pernah melantai di bursa yakni PT Graha Layar Prima Tbk (BLTZ) yang merupakan pengelola CGV. Hal ini, membuat advantage tersendiri bagi CNMA dikarenakan ‘masih kurang pemain’ di industri tersebut.
Berdasarkan prospektus ringkas yang terbit di hari ini, CNMA memiliki 1.216 layar di 225 bioskop di seluruh Indonesia per 31 Desember 2022. Jumlah ini kami lihat meningkat per Maret 2023, di mana berdasarkan research yang kami lakukan bahwa CNMA memiliki 1.235 layar di 230 bioskop, dengan target tambahan 2.000 layar dalam 5 tahun ke depan.
Dari sisi kinerja keuangan, Cinema XXI mampu meningkatkan pendapatan menjadi Rp4,40 triliun pada 2022 dari Rp1,28 triliun di 2021. Meski meningkat, perolehan tersebut masih belum pulih dari saat sebelum pandemi yang mencapai Rp6,8 triliun 2019.
Adapun pendapatan tahun lalu, setara dengan 64% perolehan pendapatan di 2019. Pendapatan terutama ditopang penjualan tiket bioskop 61%, penjualan makanan dan minuman 33%, iklan 3% dan digital platform 3%.
Kami melihat emiten ini cukup optimistis terhadap perkembangan industri hiburan, terutama sektor bioskop. Hal tersebut didukung oleh budaya menonton film yang kuat serta potensi pertumbuhan jumlah layar bioskop di Indonesia masih sangat besar.
Jika mengacu kepada kinerja keuangan per LK FY22 dan dengan mempertimbangkan kas dari IPO, berikut adalah valuasi P/E: 48,8x–52,14x, P/BV: 4,45x–4,75x dengan ROE di angka 17%.
What To Do: Menengok Prospek Industri Bioskop ke Depan
Prospek industri hiburan terutama bioskop kami nilai akan merekah tahun ini. Hal tersebut salah satunya di dorong oleh peningkatan mobilitas dan peningkatan jumlah masyarakat. Katalis lainnya datang dari pencabutan status pandemi sehingga masyarakat bisa beraktivitas di luar rumah, termasuk menonton film.
Di sisi lain, kehadiran platform Over The Top (OTT) kami nilai belum akan mengganggu pasar bioskop. dan meski cukup bersaing. Tapi perlu waktu lama untuk platform OTT mendisrupsi industri bioskop.
Dari sisi fasilitas, berdasarkan riset yang kami kutip dari laman global Euromonitor negara maju rata-rata memiliki 84,3 layar per satu juta penduduk. Sementara Asia Tenggara rata-rata hanya memiliki 30,2 layar per satu juta penduduk.
Sedangkan Indonesia baru memiliki 7,6 layar per satu juta penduduk. Hal itu membuat potensi perkembangan industri ini masih cukup luas.
RMK/EFR
Referensi: Dilansir dari berbagai sumber